Insya Allah Jum'at yang akan datang (23 Maret 2012 M/ 29 Rabiul Akhir 1433 H), Khatib: Tgk. H. Badruzzaman, SH., MH; Imam : Tgk. HUSAINI HASYIM >>>>>>>>> PANITIA PEMBANGUNAN SAAT INI SEDANG MEMPERSIAPKAN DANA UNTUK PEMBANGUNAN ATAP. OLEH KARENANYA SHADAQAH JARIYAH DARI ANDA SANGAT DIDAMBAKAN ! Shadaqah Jariyah melalui Bank dapat Anda transfer ke Rekening Panitia di Bank Aceh Syariah Lamnyong, Nomor : 612.01.20.011108-0 atas nama : PAN PEM MASJID BAITUL AHAD. Kami juga mempunyai Rekening di Bank Mandiri (KK Unsyiah Darussalam) dengan Norek: 105-00-0479738-1 an. SUBKI DJUNED/ZAINUDDIN (Bendahara dan Ketua Panitia). SEMOGA RIDHA ALLAH SELALU MENYERTAI USAHA MULIA INI. AMIN

Selasa, 16 Juni 2009

Sejarah Tgk. Chik Meunasah Baroe

Tgk. Chik Meunasah Baroe, Tokoh Ulama Karismatik

inilah photo lokasi dayah meunasah baro yang hanya tinggal kenangan

Menurut penuturan beberapa orang tua yang dapat dipercaya, bahwa perang Aceh melawan penjajahan Belanda adalah perang total, artinya semua elemen masyarakat ikut terlibat dalam peperangan melawan kafir penjajah tersebut yang tentu saja termasuk para ulama. Salah seorang tokoh masyarakat yang berhasil kami wawancarai yaitu Tgk. Mukhtar Hasan Krueng Kalee (Putra Tgk. H. Hasan Krueng Kalee), menceritakan secara panjang lebar sejarah didirikannya kembali Masjid Jamik Mukim Siem. Menurutnya sejarah peperangan Belanda melawan kaum muslimin di Aceh dilakukan dengan tertib dan penuh dengan aturan main, artinya jika suatu “kuta” atau benteng pertahanan pejuang Aceh direbut dan para pejuang lari menyelamatkan diri, Belanda tidak membakar kuta tersebut, bahkan dibiarkan begitu saja dan mereka kembali ke posisi mereka di Kutaraja (Banda Aceh).

Lebih jauh tokoh yang akrab disapa Cok Ta tersebut menuturkan bahwa peperangan dengan pola yang tidak tertib justru terjadi ketika salah seorang pejuang Aceh (Teuku Umar Djohan Pahlawan) membelot dan membantu tentera Belanda melawan pejuang Aceh. Mulai saat itu (ketika Teuku Umar sudah bersama Belanda), jika suatu pertempuran berakhir dan pejuang Aceh lari menyelamatkan diri, seluruh bangunan baik rumah penduduk, mushalla, meunasah dan masjid dibumi hanguskan. “Pada saat Teuku Umar telah memihak kepada Belanda, peperangan tidak lagi beraraturan, sedangkan pada masa sebelumnya, Belanda mempunyai aturan dalam peperangan, seperti pasukannya berjejer/berbaris dan menembak sesuai komando. Oleh karenanya, karena peperangan tidak ada aturan, jika pejuang Aceh mengalami kekalahan, maka seluruh bangunan dibumi hanguskan, terutama sekali di wilayah IX Mukim Tungkob dan VI Mukim Kayee Adang dalam wilayah Sagoe XXVI Mukim”, tegasnya.

Dalam peperangan yang memakan waktu puluhan tahun itu, banyak kaum muslimin terbunuh, dan sebagian mengungsi ke Pidie, Aceh Utara, bahkan ada yang mengungsi sampai ke tanah Gayo. Pada masa Gubernur Jenderal Belanda dijabat oleh Mayor Jenderal Van Daelen, Tgk Muhammad Sa’id atau lebih dikenal dengan laqab Tgk Chik Meunasah Baro (paman dari Tgk Haji Hasan Krueng Kalee) lari ke Tanah Tinggi Gayo (Takengon) dan di sanalah beliau bersama keluarga menetap sementara serta mendirikan sebuah balai pengajian di tepi sebuah sungai kecil (dalam bahasa Aceh dikenal dengan sebutan Alue), sehingga sampai saat ini di posisi beliau mengajar agama di Takengon tersebut dikenal sebuah anak sungai dengan nama “alue Tgk. Krueng Kalee”. Namun dalam operasi terakhir Van Daelen sampai juga ke Takengon, maka ditangkaplah keluarga dan para pembantu Tgk. Chik Meunasah Baroe sedangkan beliau tidak berada di sana, sehingga lolos dari penangkapan tentara Belanda. Keluarga dan para pembantu Tgk. Chik Meunasah Baroe setelah ditangkap di bawa ke Kutaraja dan dipenjarakan di Kedah sebagai tawanan perang, dan mengancam akan dibunuh jika Tgk. Chik Meunasah Baroe tidak mau menyerahkan diri.

Keadaan yang sangat genting ini oleh Tuwanku Raja Keumala menulis sepucuk surat kepada Tkg. Chik Meunasah Baro yang berada di hutan belantara Tanah Gayo, yang di dalamnya berisi tentang fenomena masyarakat Aceh yang telah berpuluh tahun terus berjuang sehingga pendidikan agama masyarakat Aceh saat itu sudah sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk melaksanakan ibadah, syahadat saja ada yang sudah tidak tahu lagi. Dalam masyarakat kala itu sudah berkembang berbagai bid’ah dan khurafat. Kalau keadaan ini dibiarkan terus menerus (tegas Tuwanku Raja Keumala), sangat dikhawatirkan ajaran Islam akan hilang dari tanah Aceh. Lebih jauh Tuwanku Raja Keumala menyebutkan dalam suratnya bahwa kala itu di mana-mana sudah tidak terjadi lagi perlawanan terhadap Belanda, dan mengajak Tgk. Chik Meunasah Baroe untuk turun dan menyerah kepada Belanda serta segala sesuatu akan dibicarakan dengan Belanda.

Tkg. Chik Meunasah Baro membalas surat Tuwanku Raja Keumala dan menyampaikan beliau mau berdamai dan turun gunung, dengan catatan Belanda bersedia memenuhi tiga syarat yang diajukannya, yaitu:

  1. Tkg. Chik Meunasah Baro diperkenankan mendirikan kembali masjid-masjid yang sudah dibakar Belanda terutama di Sagoe XXVI Mukim.
  2. Tkg. Chik Meunasah Baro diizinkan mendirikan dayah dan melakukan pengajian agama
  3. Tgk. Chik Meunasah Baroe dan keluarganya tidak dihukum oleh Belanda.

Ketiga-tiga syarat ini disampaikan oleh Tuwanku Raja Keumala kepada Belanda selaku mediator itu disetujui oleh Belanda. Maka Tgk. Chik Meunasah Baroe turun dari Tanah Gayo melalui Bireuen dan dibawa ke Kutaraja dengan kereta api oleh Belanda tetapi tidak ditahan dan terus bersama keluarga dan anaknya pulang ke Siem. Namun beliau tetap di sidangkan atau diperiksa di persidangan hukum Belanda, di mana dalam keputusan majelis hakim Belanda menyetujui ketiga syarat yang diajukan oleh Tgk. Chik Meunasah Baroe melalui Tuwanku Raja Keumala. Menurut cerita orang tua, ada satu orang dari para pengikut Tgk. Chik Meunasah Baroe yang dihukum, karena menurut hakim Belanda, ia adalah panglima perang dan dibuang ke Betawi.

Sejak saat itu Tgk. Chik Meunasah Baroe mendirikan sebuah balai pengajian di Gampong Siem dan terus mengajar kembali masyarakat sekitar tentang ilmu agama. Mulai saat itu beliau mendirikan kembali seluruh masjid di Wilayah XXVI Mukim dengan bentuk dan ukuran yang sama dan sangat sederhana. Salah satunya adalah Masjid Jamik Mukim Siem yang saat ini telah diberi nama dengan “Masjid Jamik Baitul Ahad Mukim Siem”. Bangunannya terdiri dari kayu dengan lantai tanah dan dilapisi dengan batu-batu tipis.

Hasil Wawancara dengan : TGK. MUKHTAR HASAN KRUENG KALEE, Selasa, 16 Juni 2009

Tidak ada komentar:

 
Redesign by : Sbafcom Corporatian